Sanghyang Shikshakanda iNg Karesian": Menggali Kebijaksanaan Spiritual di Balik Naskah Kuno Kerajaan Galuh
"Sanghyang Shikshakanda iNg Karesian" adalah sebuah naskah yang berasal dari akhir periode Kerajaan Galuh sekitar kurun 1518 M. Naskah ini menunjukkan adanya interaksi budaya antara masyarakat Sunda dan Islam pada masa itu. Kata "sanghyang" dalam bahasa Sunda kuno berarti penghormatan atas sesuatu yang agung, suci, atau spiritual. Sedangkan "shiksha" berarti "pembinaan" atau "tuntunan", dan "karesian" menunjukkan sesuatu yang berhubungan dengan resi.
Naskah ini berisi berbagai kebijaksanaan spiritual yang mencerahkan. Contohnya, lima anasir manusia yang disebut panca byapara yang menyusun Sanghiyang Pertiwi: tanah, air, api, angin, dan udara. Menurut kaum alim, semua ini adalah diri kita. Tanah adalah ibarat kulit dan daging, sedangkan air adalah darah dan ludah. Api diibaratkan sebagai mata, angin sebagai tulang, dan udara sebagai pemimpin. Tingkatan manusia juga dijelaskan dalam naskah ini, yaitu janma tuwuwuh, janma wong, janma siwong, dan wastu siwong.
Selain itu, naskah ini juga menjelaskan tentang adab dalam kerajaan. Saat memasuki keraton, seseorang harus hati-hati melangkah dan tidak boleh mengganggu atau memutus jajaran. Bila seseorang diajak bicara oleh raja, maka kata-kata yang diucapkan harus dipikirkan betul-betul dan pantas sehingga menyenangkan hati raja. Perhatikanlah sikap para mantri, para gusti terkemuka, dan para bayangkara yang berjaga.
Kerajaan Galuh pada awalnya adalah kerajaan Hindu-Syiwa. Namun, karakter dalam naskah ini lebih menunjukkan perpaduan agama Hindu-Budha yang sudah ter-Sunda-kan. Karakter spiritual yang tercermin dalam naskah ini sepertinya mewarnai kehidupan masyarakat Sunda pada masa itu. Menurut Prof. Ekadjati dalam KIBS (Konferensi Internasional Budaya Sunda, 2001), karakter mistis dan spiritual masyarakat Sunda membuat sufisme-Islam sangat mudah diterima oleh orang Sunda.
Sanghyang Shikshakanda iNg Karesian juga memuat berbagai ajaran tentang moral dan etika, seperti menghargai orang tua, tidak berbohong, tidak merampok, dan tidak berbuat curang. Selain itu, naskah ini juga mengajarkan tentang tata cara beribadah, seperti doa-doa dan mantra-mantra yang harus diucapkan saat berbagai kesempatan.
Dalam naskah ini juga disebutkan tentang kerajaan-kerajaan lain yang ada pada masa itu, seperti kerajaan Sunda, Cirebon, dan Banten. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antarbudaya yang kuat pada masa itu.
Namun, sayangnya naskah Sanghyang Shikshakanda iNg Karesian ini tidak banyak dikenal oleh masyarakat umum. Kebanyakan orang lebih mengenal ajaran agama Hindu dan Budha yang dipraktikkan pada masa Kerajaan Galuh dan Sunda.
Sebagai sebuah warisan budaya yang sangat berharga, naskah Sanghyang Shikshakanda iNg Karesian harus tetap dijaga dan dilestarikan agar tidak hilang ditelan zaman. Dengan mengenal dan mempelajari naskah ini, kita dapat lebih memahami sejarah dan budaya Sunda, serta menghargai keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia.