Kisah Kuncung Putih ketika terjadi Perang Bubat
Waktu itu ketika Rahyang Jaya Dharma atau biasan di kenal dengan nama Kuncung Putih telah menikah dengan Batari Ayuditya, dia di tugaskan oleh Sanghyang Braja Dharma (Gunung Galunggung) untuk mengawal kerajaan Galuh, saat itu Kerajaan Galuh di pimpin oleh Prabu Maharaja Linggabuana atau di kenal dengan nama Prabu Linggawangi.
Tugas yang di emban Kuncung Putih adalah menjaga keamanan dan ketertiban Kerajaan Galuh, terutama menjaga anak-anak dari Prabu Linggawangi yaitu Putri Dyah Pitaloka dan Niskala Wastu Kancana yang menjadi kakek dari Prabu Siliwangi yang kelak menjadi Raja Pajajaran.
Prabu Linggabuana memerintah Kerajaan Galuh dengan arif dan bijaksana, sehingga rakyat Galuh hidup bahagia, sejahtera, aman dan damai.
Kerajaan Galuh adalah kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Barat yang terletak antara Sungai Citarum dan Sungai Cisarayu. Kerajaan ini didirikan oleh Wretikandayun pada tahun 612 masehi.Untuk wilayah Jawa Tengah saat ini meliputi Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Banjarnegara, Purbalingga, Kebumen, Kedu, Kulonprogo, dan Purwodadi.
Baca Juga : Kuncung Putih jin pendamping Prabu Siliwangi
Ketika Putri Dyah Pitaloka dewasa, dia sangat tersohor di tatar galuh karena kecantikannya, banyak sekali laki-laki dari kerajaan di Jawa Barat untuk mencoba meminangnya, tapi tidak ada satupun laki-laki yang menjadi dambaan hatinya.
Kabar kecantikan Putri Galuh sampai ke kerajaan Majapahit, saat itu Rajanya bernama Hayam Wuruk, mendengar putri galuh yang cantik, Raja Hayam Wuruk berniat untuk mempersunting Putri Dyah Pitaloka sehingga dapat menyatukan dua kerajaan Galuh dan Majapahit. Saat itu hanya Kerajaan Galuh yang tidak dapat di kuasai oleh Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa.
Mendengar ketertarikan raja Majapahit ingin mempersuntingnya, Putri Dyah Pitaloka menerima lamaran dari Raja Hayam Wuruk tapi dengan syarat harus menikah di Kerajaan Majapahit. Seluruh rakyat Galuh sangat senang mendengar putri raja akan menikah dengan kerajaan Besar di Pulau Jawa.
Hari itu langit sangat cerah, pagi-pagi sekali Kuncung Putih bergegas pergi ke Gunung Galunggung untuk menemui gurunya Sanghyang Braja Dharma, dia meminta restu untuk ikut mengantar rombongan pernikahan ke Kerajaan Majapahit. Sanghyang Braja Dharma berkata "tinggalah kamu di Kerajaan Galuh, siapa yang akan menjaga jika terjadi pemberontakan? biarkan istrimu yang pergi menemani rombongan".
Baca juga : Sejarah Maung Bodas masuk agama Islam
Mendengar perkataan tersebut Kuncung Putih menuruti nasihat gurunya, dia akan tinggal di Kerajaan Galuh menemani putra mahkota Niskala Wastu Kancana yang saat itu umurnya masih kecil. Berangkatlah rombongan pernikahan yang di pimpin oleh Raja Linggabuana ke Kerajaan Majapahit yang terletak di Jawa Timur. Di sepanjang perjalanan semua rakyat Galuh mendoakan semoga Putri Diah Pitaloka hidup bahagia bersama Raja Hayam Wuruk.
Tetapi tanpa sepengetahuan Raja Majapahit, Patih Gajah Mada menghadang rombongan pernikahan di tengah perjalanan, Patih Gajah Mada tidak suka karena orang Sunda dianggapnya harus tunduk kepada orang Majapahit. Terjadilah pertempuran yang tidak seimbang antara rombongan pengantin dari Kerajaan Galuh dengan prajurit Majapahit. Pertempuran itu di menangkan oleh pasukan Majapahit seluruh rombongan mati termasuk Raja Linggabuana dan putrinya Dyah Pitaloka. Bangsa jin juga mengalami pertempuran yang hebat hingga menewaskan istrinya Kuncung Putih yaitu Batari Ayuditya.
Hari terus berganti tanpa adanya kabar tentang rombongan Raja Linggabuana yang telah sampai ke kerajaan Majapahit. Kuncung Putih mulai gelisah dia mencoba menghubungi kakanya yang bernama Rahyang Joyo Wiseso untuk menanyakan kabar rombongan pengantin. Rahyang Joyo Wiseso adalah jin yang sama seperti Kuncung Putih, dia di tugaskan untuk menjaga keamanan bagian timur di Pulau Jawa.
Perdebatan terjadi antara Joyo Wiseso dan Kuncung Putih, Joyo Wiseso mengatakan bahwa rombongan pengantin belum sampai hingga saat ini, sambil di perlihatkan keadaan dan suasana di dalam Kerajaan Majapahit. Kuncung Putih percaya dengan perkataan kakanya, hatinya semakin gelisah tak menentu hingga dia pergi mengikuti jejak yang di tinggalkan rombongan pengantin.
Sesampainya di tempat pertempuran Kuncung Putih kaget melihat mayat bergelimpangan darah, mayat itu adalah Raja Galuh beserta anaknya, kemudian dia mencari istrinya yang juga ikut terbunuh. Hati Kuncung Putih merasa terluka dan tangisan keluar dari matanya, dia merasa terpukul atas kejadian ini.
Kuncung Putih kembali ke Kerajaan Galuh dengan perasaan yang tak menentu, kemudian pergi ke Gunung Sawal untuk menyepi, dia meminta kepada tuhan untuk di buatkan kenang-kenangan pertanda dirinya sedang bersedih dan teluka, maka di buatkanlah curug tujuh yang airnya tidak pernah berhenti mengalir yang terletak di Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis.